“Peran Mahasiswa Sebagai Agen Kesehatan Mental di Era Digitalisasi”
oleh Ican Nurhanifah (Poltekkes Kemenkes Jakarta III)
Di
Indonesia, kesehatan mental masih menjadi topik yang tabu untuk
diperbincangkan. Banyak yang mengira jika fisik sudah baik, maka orang tersebut
bisa dikatakan sehat secara keseluruhan. Padahal, kesehatan mental juga sama
pentingnya dengan kesehatan fisik. Kesehatan mental menjadi sangat penting
karena tanpa mental yang sehat kita tidak dapat melakukan kegiatan untuk
mendapatkan fisik yang sehat. Terlebih di era digitalisasi yang melingkupi
dunia saat ini, yang dapat menjadi manfaat atau bahkan tantangan dalam
kehidupan. Teknologi kesehatan yang semakin maju membuat sehat secara fisik
lebih mudah tercapai daripada sehat secara mental. Berbagai inovasi yang
semakin canggih dan teruji, berhasil menyelamatkan banyak nyawa dari
penyakit-penyakit yang sebelumnya tidak dapat diobati. Munculnya teknologi
kesehatan baru menjadi tantangan bagi peneliti untuk terus menciptakan inovasi
baru dalam bidang pengobatan penyakit. Namun terlepas dari perkembangan diera
digital saat ini, kesehatan mental kerap luput dari perhatian.
Merujuk
pada hasil riset kesehatan dasar tahun 2018, prevalensi penderita skizofrenia
atau psikosis sebesar 7 per 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%. Sementara
itu, prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15
tahun sebesar 9,8%, angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar
6%. setengah dari penyakit mental bermula sejak remaja yakni diusia 14 tahun. Menurut
WHO, banyak kasus yang tidak tertangani sehingga bunuh diri akibat depresi
menjadi penyebab kematian tertinggi pada anak usia 15-29 tahun. Hal ini sangat
disayangkan karena remaja merupakan cikal bakal kesuksesan suatu bangsa.
Apabila suatu bangsa kehilangan remaja-remaja
yang sehat baik secara fisik maupun mental siapa yang akan meneruskan perjuangan
bangsa. Pada era digitalisasi seperti saat ini, sangat mudah bagi remaja untuk
mendapatkan kesenangan, bahkan banyak remaja Indonesia yang lupa akan kewajiban
mereka untuk belajar.
Salah
satu hal yang menjadi masalah terbesar bagi remaja diera digitalisasi ini
adalah kemudahan dalam mendapatkan informasi serta kemudahan dalam mencari
konten-konten menarik di internet. Mereka dengan mudah mengakses setiap
informasi di media sosial. Menurut hasil survey APJII (Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia) pada tahun 2018, pengguna internet terbanyak ada pada
usia remaja yaitu 15 hingga 19 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa remaja atau
generasi sekarang ini banyak menggunakan internet. Menurut laporan News Sky,
kebanyakan dari mereka menggunakan internet untuk bermain media sosial. Media
sosial menjadi hal yang bermanfaat apabila dipakai dengan cermat, namun
sebaliknya, penggunaan media sosial yang berlebih akan berakibat fatal bagi
kesehatan mental seseorang.
Media
sosial diera digitalisasi ini dapat menuai manfaat bagi penggunanya. Namun,
media sosial juga kerap memberikan dampak negatif karena membuat sebagian orang
hanyut dengan kasyikan berselancar didunia maya. Bahkan media sosial juga
merubah tingkat kepuasan seseorang diera digitalisasi ini, mereka pengguna
media sosial lebih mengutamakan kepopuleran di dunia maya dibandingkan prestasi
didunia nyata. Hal ini dapat menyebabkan
seseorang dengan kecanduaan media sosial memiliki gangguan pola kehidupan yang
dapat mengganggu kesehatan mental seseorang. Peneliti dari Children’s Hospital
of Eastrern Ontario Research Institute mengungkapkan bahwa media sosial
berdampak negatif terhadap pola tidur seseorang, dari 5.242 siswa berusia 11-20
tahun, 63 persen dari mereka mengaku bahwa durasi tidur mereka kurang dari 8
jam karena bermain media sosial. Gangguan pola istirahat yang terjadi dapat
memicu timbulnya gangguan kesehatan mental pada pengguna internet dan media
sosial.
Direktur
Jendral Aplikasi dan Informatika Semuel A. Pengerapan mengungkapkan rata-rata
durasi penggunaan internet orang Indonesia mencapai 8 jam 44 menit, sementara 3
jam 15 menit diantaranya digunakan untuk menatap laman media sosial.
Pertanyaanya, apakah konten yang dinikmati dari internet dan media sosial
merupakan konten yang bermanfaat untuk mereka? Kementerian Komunikasi dan
Informasi menilai bahwa penggunaan media sosial di Indonesia memiliki
kecenderungan untuk lebih menikmati konten negatif daripada konten positif.
Berdasarkan data Direktur Jendral Aplikasi dan Informatika Semuel A. Pengerapan
, sepanjang 2017 penyebaran konten berbau negatif terbilang tinggi. Ia mencatat
ada sekitar 5.000 ujaran kebencian, fitnah dan hoax sepanjang tahun. hal ini
menandakan konten negatif masih menjadi kegemaran pengguna media sosial. Banyak
dari mereka yang menyalahgunakan media sosial untuk kepuasan emosional. Hal ini
juga yang mendukung terjadinya gangguan mental bagi seseorang, karena media
sosial merubah banyak pola kehidupan terutama kehidupan sosial.
Berbicara
media sosial tidak luput dari peran mahasiswa yang menjadi pengguna aktif media
sosial di era digitalisasi ini. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus turun
tangan dalam menciptakan perubahan inovatif guna mengatasi tingginya angka
gangguan kesehatan mental di era digitalisasi. Banyak hal positif yang dapat
dilakukan mahasiswa untuk berkontribusi dalam hal ini. Terutama dengan
mengaktifkan media sosial dengan konten-konten positif untuk mengurangi
kecendrungan penggunaan konten negatif dalam media sosial. Salah satunya juga
dengan menciptakan komunitas peduli mental yang dapat diikuti oleh semua
masyarakat dari berbagai kalangan. Komunitas peduli mental ini dapat
menyebarkan konten positif tentang kesehatan mental melalui media sosial dengan
menyebarkan berbagai campaign untuk mengedukasi masyarakat terutama usia muda
untuk mempergunakan waktunya sebaik mungkin dalam penggunaan internet. Komunitas
peduli mental harus dapat menarik perhatian masyarakat terutama usia remaja
dengan mendominasi akun sosial yang saat ini sedang trend.
Adanya
komunitas peduli mental ini diharapkan mampu memberikan edukasi pada remaja
agar dapat menyeimbangkan kehidupan sosialnya. Selain melalui penyebaran
campaign edukasi dan konten positif dimedia sosial, komunitas ini dapat menjadi
tempat bagi mereka yang kecanduan media sosial untuk berkarya nyata, dengan
mengajak mereka yang sudah mengalami kecanduan media sosial ataupun masyarakat
yang sudah merasa dirinya jauh dari dunia sosial untuk menampilkan karya mereka
dalam suatu pameran. Dengan begitu, mereka dapat menghilangkan rasa stress
maupun depresi yang mereka alami melalui suatu karya yang dapat dinikmati dan
dapat bersosialisasi dengan pengunjung pameran yang dapat menambah nilai sosial
dalam diri mereka.
Kontribusi
mahasiswa dalam menanggulangi kesehatan mental diIndonesia dapat menambah nilai
kemanusiaan dalam diri mahasiswa. Sebagai agen perubahan pastinya mahasiswa
perlu membawa suatu perubahan baik untuk kemajuan bangsa. Hal ini juga
berdampak baik bagi mahasiswa untuk menjalankan fungsi nyata sebagai inisiator,
organisator dan korektor dalam menjalankan komunitas peduli mental ini. Membentuk
komunitas yang bermanfaat seperti komunitas peduli mental dapat menjadi hal
positif dan langkah preventif dalam mencegah kejadian gangguan mental terutama
pada pengguna aktif internet atau media sosial di era digitalisasi saat ini.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa
mahasiswa sebagai agen kesehatan mental harus mampu menciptakan inovasi
bermanfaat yang dapat membawa perubahan, terutama dalam mencegah terjadinya
gangguan kesehatan mental dikalangan masyarakat terutama remaja. Oleh karena
itu, peran mahasiswa tidak bisa lepas dalam membentuk suatu kehidupan
bermasyarakat yang positif di era digitalisasi ini.